Kopi Versus CSR, Keadilan untuk siapa?

Minggu, 30 Desember 2012

RUMAHKOPI MATITI, BANDUNG - Para petani di Pangalengan, Bandung Selatan mungkin sering tergoda tawaran untuk menjual tanahnya kepada para developer yang menjanjikan pembayaran cukup tinggi. Ketimbang berkutat menjadi petani kopi tanpa kemajuan yang berarti, mengapa tidak menjadikan hasil penjualan tanah mereka untuk usaha lain yang lebih produktif. 
 
Beberapa petani mungkin sudah menempuh cara tersebut, setidaknya itu yang dikatakan oleh mereka saat saya berbincang di Bandung saat berlangsungnya event Indonesia Barista Competition wilayah kota ini. Bukankah ada “Fair Trade” yang menjamin pembelian kopi di atas harga pasar” tanya saya? Petani hanya tersenyum sambil bali bertanya “naon per tred itu ?

Jargon tanggung jawab sosial merupakan fenomena yang terjadi di awal tahun 90an khususnya di Amerika dan negara-negara Eropa serta bukan hanya terbatas pada industri kopi saja. Terdapat gelombang kesadaran terutama di kalangan konsumen, penggiat HAM, lembaga swadaya masyarakat, hingga organisasi perburuhan yang bergerak secara bersamaan menjadi pressure group yang ditujukan kepada perusahaan-perusahaan multinasional.
 
Banyak alasan mereka bergerak secara simultan dengan target perusahaan-perusahaan besar untuk menyampaikan agenda yang mereka usung dengan tema : keadilan, sustainability, upah yang layak bagi para buruh, serta memaparkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi. Intinya mereka menyampaikan kasus-kasus corporate greed atau ketamakan perusahaan multinasional dalam melakukan eksploitasi khususnya di negara-negara dunia ketiga, terlepas apakah tuduhan itu benar (sebagian) atau perlu penyelidikan lebih lanjut. Mereka menuntut perusahaan besar bahwa sudah waktunya mereka melakukan doing good kepada komunitas setelah mengeruk keuntungan dari bisnis yang mereka lakukan. Kira-kira, itulah tuntutan yang selalu mereka suarakan.

Di dunia kopi, Starbucks merupakan langganan yang sering mereka jadikan target demonstrasi , sedangkan di bidang bisnis retail atau apparel brand seperti Adidas, Nike, Gap, terutama pada event akbar seperti pertemuan negara-negara G8 atau sidang WTO. Mengapa hanya perusahaan besar? Jawabnya, sexy untuk pemberitaan di media, ketimbang demo pada usaha kecil yang namanya tidak dikenal oleh publik. Itu salah satu alasan dan strategi mereka dalam menyampaikan pesan-pesan kepada khalayak.

Tentu saja bagi perusahaan besar yang namanya dikait-kaitkan dalam pemberitaan negatif harus memberikan respon agar namanya tidak dijauhi oleh konsumen. Pemberitaan negatif juga bisa berdampak pada kepercayaan para pemegang saham/investor yang mempengaruhi harga-harga saham mereka. Jangan lupa, aliansi konsumen khususnya di Amerika selain punya lobi kuat di pusat-pusat pengambilan keputusan, mereka juga sangat kohesif sehingga perusahaan besar sebisa mungkin selalu menghindari konfrontasi frontal dengan mereka. Berbeda dengan di negeri kita di mana konsumen belum apa-apa sudah harus berhadapan dengan klausul “barang yang sudah dibeli tidak bisa ditukar apalagi dikembalikan”.

Nah, berangkat dari usaha untuk meredam protes dan kampanye negatif yang dilakukan secara masif oleh lembaga watchdog tersebut, maka dimulailah upaya untuk “menjawab” tantangan tersebut. Kode Etik Bisnis yang dulunya hanya sebatas etika, mulai dibuat secara lebih komprehensif oleh perusahaan multinasional. Istilah Corporate Social Responsibility, Corporate Governance, Tripple Bottom Line, dan seabreg jargon lainnya mulai akrab di telinga publik. Mereka mulai mencantumkan prasyarat ketat terhadap rekanan bisnis untuk mematuhi beberapa standard yang diakui secara internasional. Standard tersebut misalnya berisi beberapa aspek yang berkaitan dengan isu : kepedulian terhadap lingkungan, peruburuhan, dan kondisi kerja. Bahasa awamnya,

Intinya, Anda sebagai pemilik perkebunan kopi bisa sah sebagai rekanan perusahaan P&G, Kraft atau Nestle bila telah memenuhi standard etika bisnis yang mereka tentukan. Ide dasarnya seperti itu. Artinya perusahaan multinasional bisa meyakinkan kepada lembaga penggiat HAM, LSM, dan siapa saja yang berkepentingan dengan isu-isu pembangunan di negara dunia ketiga, bahwa produk yang mereka beli sudah memenuhi standard kepatutan etika bisnis internasional.

Pertanyaan dasarnya, siapa yang bisa menjamin bahwa pemasok sudah memenuhi standard etika bisnis ? Banyak perusahaan yang mempunyai tim audit sendiri yang melakukan pemeriksaan secara menyeluruh kepada para pemasok. Bagi yang tidak punya kapasitas untuk menerjunkan tim nya ke lapangan, banyak perusahaan assessor atau penilai yang menyediakan jasa melakukan pekerjaan untuk melakukan pemeriksaan kepada pemasok. Dalam industri kopi ada Rainforest Alliance, yang auditnya dilakukan oleh Sustainable Agricultural Product, lalu ada Utz Certified Good Inside, Bird Friendly sebuah lembaga konservasi yang bernaung di bawah Migratory Bird Center. Terakhir tentu saja ada audit yang dilakukan oleh Fair Trade, organisasi yang akan membeli produk di atas standard harga kopi dunia dan memberikan insetif kepada pelaku industri seperti petani akses kepada para buyer secara langsung terlepas dari kritik tentang sistem yang kemudian berkembang lagi menjadi Diret Trade seperti yang dilakukan oleh roaster Intelligentsia & Counter Culture di Amerika yang tidak akan saya bahas di sini.
 
Di atas kertas konsep yang dikembangkan dengan sistem audit untuk mendapatkan label “kelayakan berbisnis” para pemasok dalam hal ini adalah petani kopi dengan melakukan perbaikan standard lingkungan atau konservasi, kondisi kerja, dan prasyarat lainnya bermuatan positif. Tentu sah2 saja untuk meningkatkan kehidupan dan kualitas produk kopi dengan memenuhi persyarakatan sesuai dengan standard internasional. Akses ke pasar dunia akan terbuka lebar bila petani kopi sudah bisa menempelkan label “kodok hijau” bahwa lahan pertaniannya sudah lulus ujian dari audit yang dilakukan oleh SAN (Sustainable Agricultural Product).

Bagaimana kenyataan di lapangan ? Perlu penelitian yang komprehensif, tapi dari ratusan atau sejumlah lahan pertanian kopi di Indonesia hanya belasan yang mendapatkan sertifikasi dari SAN, tapi saya tidak tahu berapa jumlah yang sudah lulus audit untuk Fair Trade dan lembaga pemeriksa lainnya. Tapi setidaknya sedikitnya jumlah pengusaha kopi yang lulus sertifikasi sedikitnya memberikan gambaran bahwa tidak mudah untuk memenuhi standard internasional, terutama bagi kalangan petani kecil.
 
Audit itu mahal dan memakan waktu yang lama, bukan hanya satu dua hari, tapi berbulan-bulan. Auditor akan datang, memeriksa, memberikan daftar perbaikan dan solusinya, pemasok melakukan perbaikan, auditor datang lagi untuk memeriksa, bila hasilnya sudah memenuhi standard prosesnya akan berhenti, tapi bila masih ada kekurangan, mereka akan terus datang untuk memastikan bahwa pemasok mengikuti pedoman bisnis yang sudah ditentukan. Siapa yang membayar biayanya ? Pada prakteknya buyer akan meminta pemasok membayar seluruh biaya, tapi ada juga yang ditanggung bersama, atau ditanggung pembeli, tergantung perjanjian.

Di atas saya menyatakan bahwa audit itu mahal, begini ilustrasinya. Salah satu prasyarat adalah memberi upah living wage kepada para pekerja, sebuah stadard pembayaran yang jauh di atas upah minimum. Bagi perusahaan pemasok besar mungkin hal itu bisa dipenuhi, lalu bagaimana dengan petani atau koperasi kecil ? Lalu siapa yang akan menjamin bahwa mereka akan terus membayar upah secara rutin secara benar ? Berapa kali per tahun auditor akan memeriksan ulang kepatuhan pemasok? bagaimana bila lokasinya jauh di pegunungan ? Belum lagi isu konservasi seperti penangan air. Kompleks bukan ?
 
Lansekap politik ekonomi selalu menarik untuk ditelisik, tapi juga harus terbuka untuk dikritisi guna perbaikan sistem yang sebenarnya berniat untuk membangun kehidupan yang lebih baik khususnya pelaku industri seperti para petani. Bukankah itu tujuan awal berbagai program ini bermunculan? Jangan sampai berbagai sistem audit justru mematikan kesempatan mereka untuk mendapatkan akses ke pasar internasional. Biaya audit yang mahal (Social Accountability 8000 misalnya bertarif 12.500 US$) bisa jadi merupakan faktor keengganan pemasok untuk disertifikasi karena belum apa-apa sudah harus mengeluarkan biaya besar tanpa ada jaminan kelulusan apalagi mendapatkan order dari buyer.

How fair is fair? Jawaban itu mungkin bisa terjawab manakala petani kopi dari Pangalengan di atas sudah bisa mendapatkan kebebasan untuk menjual komoditasnya dengan harga pantas dan bisa bernegoisasi serta memilih partner bisnisnya tanpa tekanan pihak lain. (cikopi)
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Translate

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Rumah Kopi Matiti - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger