RUMAHKOPI TEMANGGUNG, JAKARTA - Mungkin banyak yang tidak tahu kalau biji kopi aslinya berwarna hijau. Kalau kita sering melihat biji tanaman Coffea Arabica warnanya agak-agak hitam, sesungguhnya ia sudah menjalani ritual panjang berupa disangrai atau “digoreng”. Nah, tugas itu diserahkan pada mereka, para seniman penggoreng kopi.
Istilah menyangrai (roast) memang lebih tepat digunakan untuk menyebut proses pematangan biji kopi. Tetapi di Indonesia kata menggoreng justru lebih populer. Meski anehnya, alat yang digunakan untuk “menggoreng” kopi tetap disebut roaster (panggangan).
Sejak zaman baheula, ada tiga kriteria kematangan biji kopi. Yang pertama adalah warna. Biji kopi akan berubah warna. Warna yang diinginkan biasanya adalah coklat tua. Kriteria kedua adalah aroma. Harum kopi dan asap akibat proses penggorengan akan menggoda hidung. Terakhir ialah suara. Biji kopi yang sudah matang akan mengeluarkan suara gemeretak, krak-krak...
Para penggoreng kopi yang sudah mumpuni mampu memunculkan potensi rasa dari tiap varian biji kopi. Biji kopi memang memiliki varian rasa berbeda-beda. Ada yang memiliki rasa buah-buahan, jeruk, karamel, cokelat, atau kacang. Nah, teknik menggoreng yang baik akan memunculkan potensi-potensi rasa tersebut. Hal itu tak bisa dilakukan oleh sembarang orang, hanya mereka, para seniman penggoreng kopi yang mampu melakukannya.
Meski tidak ada catatan yang pasti, bolehlah kita berasumsi bahwa cara dan alat menggoreng kopi juga ikut masuk pada saat yang sama. Teknik tradisional itu bahkan masih bisa kita lihat sampai hari ini. Di Temanggung, kita masih bisa menyaksikan para wanita menggoreng kopi dengan wajan dan tungku seperti bangsa Turki di abad ke-16.
Tapi tidak hanya wajan metal yang masih bertahan, pabrik kopi dengan mesin tradisional juga masih ada yang bertahan. Paberik Kopi Aroma di Jln. Banceuy Nomor 51 Bandung yang berdiri sejak 1930 misalnya, belum mau menutup usia. Pak Widya, begitu Widya Pratama, sang pemilik kerap disapa, tetap setia dengan tradisi sebagaimana aslinya. Sebagai anak tunggal, ia mewarisi usaha ini dari ayahnya, Tan Houw Sian.
Pria sederhana yang gemar berpakaian safari cokelat itu memulai aktivitas menggoreng dari pukul 05.00 sampai 12.00. Tidak lebih dari 200 kg setiap hari, agar kopi yang dijual tepat habis dalam sehari. “Biar para pembeli mendapatkan kopi yang fresh,” tutur pria yang masih segar bugar di usianya ke-61 itu.
Dalam menggoreng, Pak Widya mengandalkan roaster keluaran Probat, Jerman. Mesin buatan 1930 itu masih tampak berdiri tegap di tengah pabrik ukuran 8 x 12 m itu. Bentuk roaster-nya unik, seperti helm ksatria Eropa zaman dulu. Pada bagian bawah, terdapat tungku api dengan kayu pohon karet sebagai bahan bakar. Pada bagian tengah tabung-tabung berisi bola metal yang menjadi wadah penggoreng. Bagian tengah ini tersambung dengan cerobong asap yang menjulang tinggi menembus atap pabrik.
Bagi Pak Widya, seni menggoreng kopi bukan cuma soal mengetahui tingkat kematangan, tapi juga termasuk memilih biji kopi. Ia sendiri hanya menggoreng biji kopi tua, yang telah disimpan di gudang selama delapan tahun untuk arabica, dan lima tahun untuk robusta. Selama penyimpanan, biji kopi juga harus dijemur teratur untuk mengurangi kadar keasamannya.
Proses penggorengan memakan waktu sekitar dua jam dengan suhu tetap yaitu 125°C. Tiga inderanya aktif merasakan: mata untuk melihat warna biji kopi, telinga untuk mendengar gemeretak biji kopi, dan hidung untuk mencium aroma biji kopi kalau sudah matang.
Setelah matang, biji kopi tersebut didinginkan dan dipilah memakai mesin pemilah bermerek Probat yang juga sudah 80 tahun usianya. Wah, para tua-tua keladi rupanya.
Karena kopi produksinya tidak terasa asam, perut para konsumen juga aman dari kembung. Proses penggorengan pun tak mengganggu keseimbangan alam. “Bahan bakar yang saya pakai 'kan limbah kayu pohon karet. Enggak ada yang mau kayu-kayu ini, karena sudah enggak bisa dipakai. Daripada jadi limbah lebih baik saya pakai,” tuturnya.
Lain Pak Widya, lain pula Anton Sumarjo. Pria 35 tahun yang berprofesi sebagai roaster (penggoreng) di Blumchen Coffee, di Jln. Fatmawati no. 1 Jakarta Selatan itu menggunakan peralatan yang lebih modern.
Namun, Anton mengaku setuju akan pernyataan bahwa menggoreng kopi adalah sebuah seni. Kegiatan ini, menurutnya, memerlukan penghayatan khusus saat menggoreng kopi.
Pria asal Purwokerto yang sudah tiga tahun berprofesi sebagai roaster ini menggoreng kopi dua kali seminggu. “Itu juga tergantung pada permintaan kafe, agar biji kopi tak terbuang sia-sia,” ujarnya.
Pada proses penggorengan biji kopi modern, biji kopi dimasukkan ke dalam corong yang katupnya masih tertutup pelat metal. Kemudian mesin dan alat pembakar (burner) dinyalakan untuk memanaskan drum di dalam mesin hingga mencapai suhu 210°C, baru kemudian biji kopi dimasukkan ke dalamnya. Biasanya dalam 15-20 menit, biji akan matang. Tapi Anto mengaku tidak mengandalkan patokan waktu dan suhu, melainkan juga feeling-nya.
Begitu matang, pintu penutup drum dibuka, dan biji-biji kopi yang sudah beraroma wangi dikeluarkan. Proses pendinginan dilakukan di wadah sambil diaduk selama sekitar 5-10 menit. Setelah dingin, biji kopi siap digiling sesuai kebutuhan.
Menggoreng kopi itu menyenangkan. Kita bisa bereksperimen agar bisa mendapatkan profil rasa yang cocok. "Ini memerlukan feeling yang kuat,” tutur Anto. Inilah mengapa ia bisa menolak menggoreng ketika mood-nya sedang buruk. Jerih payahnya itu akan terbayar ketika melihat pelanggannya datang kembali dan mencicipi kopi hasil gorengannya. “Rasanya puas sekali kalau melihat pelanggan datang kembali untuk mencicipi kopi gorengan saya.”
Para penggoreng kopi dan roaster-nya ibarat pelukis dengan kuas kanvasnya. Dengan sentuhan mereka biji kopi bisa jadi kaya rasa dan hidup terasa lebih indah.
Yuk, ngopi! (intisari)
Istilah menyangrai (roast) memang lebih tepat digunakan untuk menyebut proses pematangan biji kopi. Tetapi di Indonesia kata menggoreng justru lebih populer. Meski anehnya, alat yang digunakan untuk “menggoreng” kopi tetap disebut roaster (panggangan).
Sejak zaman baheula, ada tiga kriteria kematangan biji kopi. Yang pertama adalah warna. Biji kopi akan berubah warna. Warna yang diinginkan biasanya adalah coklat tua. Kriteria kedua adalah aroma. Harum kopi dan asap akibat proses penggorengan akan menggoda hidung. Terakhir ialah suara. Biji kopi yang sudah matang akan mengeluarkan suara gemeretak, krak-krak...
Para penggoreng kopi yang sudah mumpuni mampu memunculkan potensi rasa dari tiap varian biji kopi. Biji kopi memang memiliki varian rasa berbeda-beda. Ada yang memiliki rasa buah-buahan, jeruk, karamel, cokelat, atau kacang. Nah, teknik menggoreng yang baik akan memunculkan potensi-potensi rasa tersebut. Hal itu tak bisa dilakukan oleh sembarang orang, hanya mereka, para seniman penggoreng kopi yang mampu melakukannya.
Tradisional dan modern
Sejarah mencatat, biji kopi masuk ke Indonesia sejak abad ke-17. Dalangnya, tak lain dan tak bukan, ialah para meneer Belanda. Mereka membawa biji kopi dari Yaman dan menanamnya di beberapa lokasi Nusantara, seperti Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.Meski tidak ada catatan yang pasti, bolehlah kita berasumsi bahwa cara dan alat menggoreng kopi juga ikut masuk pada saat yang sama. Teknik tradisional itu bahkan masih bisa kita lihat sampai hari ini. Di Temanggung, kita masih bisa menyaksikan para wanita menggoreng kopi dengan wajan dan tungku seperti bangsa Turki di abad ke-16.
Tapi tidak hanya wajan metal yang masih bertahan, pabrik kopi dengan mesin tradisional juga masih ada yang bertahan. Paberik Kopi Aroma di Jln. Banceuy Nomor 51 Bandung yang berdiri sejak 1930 misalnya, belum mau menutup usia. Pak Widya, begitu Widya Pratama, sang pemilik kerap disapa, tetap setia dengan tradisi sebagaimana aslinya. Sebagai anak tunggal, ia mewarisi usaha ini dari ayahnya, Tan Houw Sian.
Pria sederhana yang gemar berpakaian safari cokelat itu memulai aktivitas menggoreng dari pukul 05.00 sampai 12.00. Tidak lebih dari 200 kg setiap hari, agar kopi yang dijual tepat habis dalam sehari. “Biar para pembeli mendapatkan kopi yang fresh,” tutur pria yang masih segar bugar di usianya ke-61 itu.
Dalam menggoreng, Pak Widya mengandalkan roaster keluaran Probat, Jerman. Mesin buatan 1930 itu masih tampak berdiri tegap di tengah pabrik ukuran 8 x 12 m itu. Bentuk roaster-nya unik, seperti helm ksatria Eropa zaman dulu. Pada bagian bawah, terdapat tungku api dengan kayu pohon karet sebagai bahan bakar. Pada bagian tengah tabung-tabung berisi bola metal yang menjadi wadah penggoreng. Bagian tengah ini tersambung dengan cerobong asap yang menjulang tinggi menembus atap pabrik.
Bagi Pak Widya, seni menggoreng kopi bukan cuma soal mengetahui tingkat kematangan, tapi juga termasuk memilih biji kopi. Ia sendiri hanya menggoreng biji kopi tua, yang telah disimpan di gudang selama delapan tahun untuk arabica, dan lima tahun untuk robusta. Selama penyimpanan, biji kopi juga harus dijemur teratur untuk mengurangi kadar keasamannya.
Proses penggorengan memakan waktu sekitar dua jam dengan suhu tetap yaitu 125°C. Tiga inderanya aktif merasakan: mata untuk melihat warna biji kopi, telinga untuk mendengar gemeretak biji kopi, dan hidung untuk mencium aroma biji kopi kalau sudah matang.
Setelah matang, biji kopi tersebut didinginkan dan dipilah memakai mesin pemilah bermerek Probat yang juga sudah 80 tahun usianya. Wah, para tua-tua keladi rupanya.
Puas jika pelanggan kembali
Di benak Pak Widya, menggoreng secara tradisional bukan sebatas warisan. Ini merupakan seni, sehingga memunculkan kepuasan tersendiri. Maka ia begitu meyakini testimoni dari sejumlah pelanggan tentang kesembuhan mereka dari diabetes atau gangguan tekanan darah setelah meminum kopi hasil gorengannya.Karena kopi produksinya tidak terasa asam, perut para konsumen juga aman dari kembung. Proses penggorengan pun tak mengganggu keseimbangan alam. “Bahan bakar yang saya pakai 'kan limbah kayu pohon karet. Enggak ada yang mau kayu-kayu ini, karena sudah enggak bisa dipakai. Daripada jadi limbah lebih baik saya pakai,” tuturnya.
Lain Pak Widya, lain pula Anton Sumarjo. Pria 35 tahun yang berprofesi sebagai roaster (penggoreng) di Blumchen Coffee, di Jln. Fatmawati no. 1 Jakarta Selatan itu menggunakan peralatan yang lebih modern.
Namun, Anton mengaku setuju akan pernyataan bahwa menggoreng kopi adalah sebuah seni. Kegiatan ini, menurutnya, memerlukan penghayatan khusus saat menggoreng kopi.
Pria asal Purwokerto yang sudah tiga tahun berprofesi sebagai roaster ini menggoreng kopi dua kali seminggu. “Itu juga tergantung pada permintaan kafe, agar biji kopi tak terbuang sia-sia,” ujarnya.
Pada proses penggorengan biji kopi modern, biji kopi dimasukkan ke dalam corong yang katupnya masih tertutup pelat metal. Kemudian mesin dan alat pembakar (burner) dinyalakan untuk memanaskan drum di dalam mesin hingga mencapai suhu 210°C, baru kemudian biji kopi dimasukkan ke dalamnya. Biasanya dalam 15-20 menit, biji akan matang. Tapi Anto mengaku tidak mengandalkan patokan waktu dan suhu, melainkan juga feeling-nya.
Begitu matang, pintu penutup drum dibuka, dan biji-biji kopi yang sudah beraroma wangi dikeluarkan. Proses pendinginan dilakukan di wadah sambil diaduk selama sekitar 5-10 menit. Setelah dingin, biji kopi siap digiling sesuai kebutuhan.
Menggoreng kopi itu menyenangkan. Kita bisa bereksperimen agar bisa mendapatkan profil rasa yang cocok. "Ini memerlukan feeling yang kuat,” tutur Anto. Inilah mengapa ia bisa menolak menggoreng ketika mood-nya sedang buruk. Jerih payahnya itu akan terbayar ketika melihat pelanggannya datang kembali dan mencicipi kopi hasil gorengannya. “Rasanya puas sekali kalau melihat pelanggan datang kembali untuk mencicipi kopi gorengan saya.”
Para penggoreng kopi dan roaster-nya ibarat pelukis dengan kuas kanvasnya. Dengan sentuhan mereka biji kopi bisa jadi kaya rasa dan hidup terasa lebih indah.
Yuk, ngopi! (intisari)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !