RUMAHKOPI MATITI, Medan - Saat ini kopi menjadi komoditi perdagangan
internasional terbesar setelah minyak. Berdasarkan laporan
International Coffee Organization (ICO), diperkirakan konsumsi global
pada tahun 2009/10 mencapai total 129.700.000 bags (1 bags = 60
kilogram) kopi dengan nilai perdagangannya sebesar US $ 15,4 miliar.
Pada tahun 2010, sektor ini telah menyerap tenaga kerja sebanyak 26 juta
orang di 52 negara-negara penghasil. Dan Sekitar 70 negara yang
memproduksi kopi (yang Anggota ICO) bertanggung jawab atas lebih dari 97
persen dari produksi dunia
Indonesia adalah termasuk salah satu negara terbesar pengeksport
kopi dunia setelah Brazil dan Vietnam, meskipun sumbangsih pendapatan
devisa negara dari sektor ini masih terbilang kecil yakni tidak sampai
2% dari total pendapatan devisa. Meskipun mengalami fluktuasi, namun
eksport kopi Indonesia kecenderungannya mengalami kenaikan daripada
negara Vietnam yang mengalami penurunan.
Situasi ini juga sejalan dengan yang terjadi di Sumatera Utara, dimana
nilai eksport kopi selama kurun waktu lima tahun belakangan ini
mengalami kenaikan khususnya untuk kopi jenis Arabika menurut data BPS
dan Dinas Pertanian. Produksi kopi arabika di Sumut tahun 2008 sebesar
43.643,32 ton. Kemudian pada tahun 2009 produksi meningkat menjasi
45.482,81 ton dan kemudian diikuti perkembangan positif pada 2010 yang
tercatat Sumut memproduksi kopi jenis itu sebanyak 46.655 ,75 ton per
tahun.
Peningkatan produksi kopi itu juga ditandai dengan peningkatan
lahan/perkebunan kopi di Sumatera Utara oleh rakyat. Tahun 2008 luas
areal kebun kopi seluas 53.869,36 hektar. Tahun 2009 luas areal
meningkat menjadi 57.141,89 hektar, dan pada 2010 luas areal 58.418,32
hektar. Data Statistik Direktorat Jenderal Pertanian, Departemen
Kehutanan mencatat bahwa luas areal perkebunan kopi di Sumatera Utara
yakni seluas 80.244 hektar dimana seluas 79,544 hektar dikerjakan oleh
rakyat dan seluas 700 hektar oleh swasta/perusahaan.
DEFORESTASI
Peningkatan lahan atau perluasan kebun kopi di Sumatera Utara ternyata
berdampak terhadap penurunan luasan kawasan hutan (deforestasi) tropis
dan bahkan memicu terjadi degradasi lahan, karena areal yang menjadi
sasaran dari ekspansi perluasan kebun kopi adalah hutan baik yang
berstatus sebagai hutan negara maupun sebagai hutan hak.
Selain karena alasan daerah yang cocok untuk tanaman kopi, lahan
hutan lah yang tersisa untuk perluasan kebun. Dimana rata-rata pembukaan
lahan baru tersebut oleh satu keluarga seluas 0,3 – 0,5 hektar karena
terbentur masalah modal.
Adapun wilayah kabupaten yang menjadi ekspansi kebun kopi itu
diantaranya adalah kabupaten Dairi, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat,
Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Mandailing Natal, dan Tanah Karo.
Wilayah kabupaten tersebut memiliki dataran tinggi yang berada dalam
satu punggungan, Bukit Barisan.
Namun fakta lapangan memperlihatkan bahwa sebenarnya masyarakat belum
maksimal mengelola kebun kopi yang ada sehingga terlihat banyak pohon
kopi yang kering dan tak terawat. “semakin luas lahan, semakin banyak
hasil” selalu menjadi pola pertanian rakyat. Sesungguhnya logika
tersebut dapat benar, namun melihat produktifitas yang tidak maksimal
maka pola itu bisa salah dan merugikan .
Berdasarkan laporan dari International Coffe Organization (ICO)
menyebutkan bahwa data tahun 2011, Indonesia memiliki lahan kebun kopi
produktif seluas 1.340.000 hektar dengan total produksi sebanyak
8.620.000 bags pertahun dan eksport kopi hijau sebanyak 3.484.490 bags
pertahun. Sementara negara Vietnam hanya memiliki lahan kebun kopi
seluas 571.000 hektar mampu memiliki total produksi sebanyak 24.058.000
bags pertahun dimana eksport kopi hijau sebanyak 17.646.329 bags
pertahun. Lainnya adalah negara Brazil yang memiliki kebun kopi
produktif seluas 2.056.290 hektar dengan total produksi 43.484.000 bags
pertahun dan mampu mengeksport kopi hijau sebanyak 30.141.034 bags
pertahun.
Dengan masih menggunakan pola pertanian tradisional tersebut maka
kita mengalami kerugian karena perubahan fungsi dan kerusakan hutan.
fungsi hutan sebagai resapan air, rumah (habitat) bagi satwa-satwa
menjadi hilang, yang sebenarnya punya peran penting juga bagi manusia
dan tanaman itu sendiri.
Padahal tanaman kopi akan mengalami pertumbuhan yang baik jika
berhubungan dengan pohon-pohon rindang (naungan) untuk menjaga iklim
mikro, memperkaya bahan organik didalam tanah, kebutuhan akan nutrisi
kecil karena terlindungi dari sinar matahari langsung dengan kata lain
meminimalkan kebutuhan dan residu pupuk. Selain itu memungkinkan untuk
diversifikasi produksi.
PERUBAHAN IKLIM
Pertumbuhan kopi yang baik sangat dipengaruhi oleh iklim, curah hujan,
serta ketinggiannya terutama untuk pegunungan tropis. Sehingga pemanasan
suhu bumi dalam skala global yang terus meningkat akan berdampak
mempengaruhi iklim dan curah hujan yang notabene akan berpengaruh juga
terhadap produksi kopi baik kualitas maupun kuantitasnya. Bahkan hasil
penelitian dari Royal Botanic Garden, London’s menyebutkan bahwa pada
tahun 2080 semua jenis kopi Arabika yang ada dibumi akan hilang. Dan
dalam kurun waktu menuju tahun tersebut, harga kopi akan melambung
dengan kualitas rendah.
Sementara penelitian lain mengatakan bahwa perubahan suhu adalah yang
paling mempengaruhi produksi kopi. Disebutkan juga bahwa produksi kopi
akan mengalami penurunan hingga 34% pada tahun 2020 dari produksi saat
ini. Dan penelitian itu juga menyebutkan bahwa proksi terbesar dalam
peningkatan biaya produksi adalah diperuntukan untuk upah minimum tenaga
kerja.
Banyak penelitian menyebutkan bahwa perubahan tutupan hutan oleh
deforestasi tidak secara langsung mengancaman keberlangsungan tanaman
kopi, tetapi lebih pada suhu. Namun perubahan suhu atau iklim salah
satunya dipengaruhi oleh deforestasi.
Sehingga, jika tetap mengedepankan pola pertanian secara tradisional
untuk jenis komoditi kopi di Sumatera Utara – yang sarat dengan
perambahan hutan – maka akan semakin mempercepat keadaan buruk bagi
semua pihak yang berkaitan dengan tanaman kopi ini baik bagi petani,
perusahaan eksport, maupun kedai/cafe kopi, dan penikmat kopi. Sumber